Teori Belajar Behavioristik
Konsep / Pandangan terhadap pembelajaran.
Teori behavioristik adalah teori
beraliran behaviorisme yang merupakan salah satu aliran psikologi. Teori
ini memandang indifidu hanya dari sisi fenomena jasmaniyah, dan
mengabaikan aspek-aspek mental. Sehingga dengan
kata lain behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat
dan perasaan individu dalam suatu belajar. Peristiwa belajar semata-mata
hanya untuk melatih refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi
kebiasaan yang dikuasai individu.
Seperti yang telah disampaikan di
atas bahwa teori behavioristik memandang bahwa belajar merupakan
perubahan tingkah laku, yang bisa di amati, di ukur dan di nilai secara
konkrit, karena adanya interaksi antara stimulus dan respon. Perubahan
terjadi melalui rangsangan (stimulus) yang menimbulkan perilaku reaktif
(respon) berdasarkan hukum-hukum mekanistik. Stimulus tidak lain adalah
lingkungan belajar anak, baik yang internal maupun eksternal yang
menjadi penyebab belajar. Sedangkan respon adalah akibat atau dampak,
berupa reaksi fisik terhadap stimulans. Belajar berarti penguatan
ikatan, asosiasi, sifat dan kecenderungan S-R.
Menurut teori ini yang terpenting
adalah masuk atau input yang berupa stimulus dan keluaran atau output
yang berupa respon. Sedangkan apa yang terjadi antara stimulus dan
respon dianggap tidak penting untuk diperhatikan karena tidak bisa
diamati. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan
suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah
laku tersebut. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika ia dapat
menunjukkan perubahan tingkah lakunya.[2] Misalnya;
siswa belum dapat dikatakan berhasil dalam belajar Ilmu Pengetahuan
Sosial jika dia belum bisa/tidak mau melibatkan diri dalam
kegiatan-kegiatan sosial seperti; kerja bakti, ronda dll.
Tokoh-tokoh dan pemikiranya.
a. Thorndike : koneksionisme.
Thorndike adalah seorang pendidik
dan sekaligus psikolog berkebangsaan Amerika. Menurutnya, belajar
merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi (koneksi) antara peristiwa
yang disebut dengan Stimulus (S) dengan Respon (R). Stimulus adalah
perubahan dari lingkungan exsternal yang menjadi tanda untuk
mengaktifkan organisme untuk beraksi/berbuat. Sedangkan respon adalah
sembarang tingkah laku yang dimunculkan karena adanya perangsang.
Dari percobaannya yang terkenal
(puzzle box) diketahui bahwa supaya tercapai hubungan antara stimulus
dan respon, perlu adanya kemampuan untuk memilih respon yang tepat serta
melalui usaha-usaha atau percobaan-percobaan (trial) dan kegagalan-kegagalan (Error)
terlebih dahulu. Bentuk paling dasar dari belajar adalah “Trial and
Error learning atau selecting and conecting learning” dan berlangsung
menurut hukum-hukum tertentu. Oleh karena itu teori belajar yang
dikemukakan oleh thorndike ini sering disebut teori belajar
koneksionisme atau asosiasi. Prinsip pertama teori koneksionisme adalah belajar merupakan kegiatan membentuk asosiasi (conection) antara kesan panca indera dengan kecenderungan bertindak.
Dari exsperimen puzzle box-nya thorndike menemukan tiga hukum belajar yaitu; Hukum kesiapan (Law of readiness)
dimana semakin siap suatu organisme memperoleh perubahan tingkah laku,
maka pelaksanaan tingkah laku tersebut akan menimbulkan kepuasan
individu sehingga asosiasi cenderung diperkuat. Hukum Latihan (Law of excercise)
yaitu semakin sering tingkah laku di ulang/dilatih (digunakan), maka
asosiasi tersebut akan semakin kuat. Yang terakhir adalah hukum akibat (law of effect)
yaitu hubungan stimulus respon akan cenderung di perkuat bila akibatnya
menyenangkan dan sebaliknya cenderung melemah jika akibatnya tidak
memuaskan.
b. Watson : Conditioning
Watson mendefinisikan belajar
sebagai proses interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus dan
respon yang dimaksud harus dapat di amati (observable)
dan dapat di ukur. Jadi meskipun dia mengakui adanya
perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar,
namun dia menganggap faktor tersebut sebagai hal yang tidak perlu di
perhitungkan karena tidak dapat diamati.
Watson adalah seorang behaviorist
murni, karena kajianya tentang belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu
lain seperti fisika atau biologi yang sangat berorientasi pada
pengalaman empirik semata, yaitu sejauh mana dapat diamati dan diukur.
Hanya dengan asumsi seperti itulah – menurut watson - kita dapat
meramalkan perubahan apa yang bakal terjadi pada siswa.
c. Guthrie : Conditioning.
Azas belajar guthrie yang utama
adalah hukum kontinguity. Yaitu gabungan stimulus-stimulus yang disertai
suatu gerakan, pada waktu timbul kembali cenderung akan diikuti oleh
gerakan yang sama. Guthrie juga menggunakan variabel hubungan stimulus
respon untuk menjelaskan terjadinya proses belajar. Belajar terjadi
karena gerakan terakhir yang dilakukan mengubah situasi stimulus
sedangkan tidak ada respon lain yang dapat terjadi. Penguatan hanya
sekedar melindungi hasil belajar yang baru agar tidak hilang dengan
jalan mencegah perolehan respon yang baru.
Teori guthrie ini mengatakan
bahwa hubungan stimulus dan respon bersifat sementara, oleh karenanya
dalam kegiatan belajar, peserta didik perlu sesering mungkin diberi
stimulus agar hubungan stumulus dan respon bersifat lebih kuat dan
menetap. Guthrie juga percaya bahwa hukuman (punishment)
memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan
pada saat yang tepat akan mampu mengubah tingkah laku seseorang.
d. Skinner : Operant conditioning
Skinner adalah seorang yang
berkebangsaan Amerika yang dikenal sebagai seorang tokoh behavioris yang
meyakini bahwa perilaku individu dikontrol melalui proses operant conditioning dimana
seseorang dapat mengontrol tingkah laku organisme melalui pemberian
reinforcement yang bijaksana dalam lingkungan yang relatif besar.
Menagement kelas menurut skinner
adalah berupa usaha untuk memodifikasi perilaku antara lain dengan
proses penguatan yaitu memberi penghargaan pada perilaku yang diinginkan
dan tidak memberi imbalan apapun pada perilaku yang tidak tepat. Operant Conditioning adalah
suatu proses perilaku operant (penguatan positif atau negatif) yang
dapat mengakibatkan perilaku tersebut dapat berulang kembali atau
menghilang sesuai dengan keinginan.
Menurut skinner – berdasarkan
percobaanya terhadap tikus dan burung merpati – unsur terpenting dalam
belajar adalah penguatan. Maksudnya adalah penguatan yang terbentuk
melalui ikatan stimulus respond akan semakin kuat bila diberi penguatan (
penguatan positif dan penguatan negatif). Bentuk penguatan positif
berupa hadiah, perilaku, atau penghargaan. Sedangkan bentuk penguatan
negatif adalah antara lain menunda atau tidak memberi penghargaan,
memberikan tugas tambahan, atau menunjukkan perilaku tidak senang.
Skinner tidak percaya pada asumsi
yang dikemukakan guthrie bahwa hukuman memegang peranan penting dalam
proses pelajar. Hal tersebut dikarenakan –menurut skinner- (1) pengaruh
hukuman terhadap perubahan tingkah laku sangat bersifat sementara, (2)
dampak psikologis yang buruk mungkin akan terkondisi (menjadi bagian
dari jiwa si terhukum) bila hukuman berlangsung lama, (3) hukuman
mendorong si terhukum mencari cara lain (meskipun salah dan buruk) agar
ia terbebas dari hukuman, (4) hukuman dapat mendorong si terhukum
melakukan hal-hal lain yang kadangkala lebih buruk dari pada kesalahan
pertama yang diperbuatnya. Skinner lebih percaya dengan apa yang disebut
penguatan baik negatif maupun positif.
e. Pavlov : Classic Conditioning
Dalam pemikiranya Pavlov
berasumsi bahwa dengan menggunakan rangsangan-rangsangan tertentu,
perilaku manusia dapat berubah sesuai dengan apa yang diinginkan.
Berangkat dari asumsi tersebut Pavlov mengadakan eksperimen dengan
menggunakan binatang (anjing) karena ia menganggap binatang memiliki
kesamaan dengan manusia. Namun demikian, dengan segala kelebihanya
secara hakiki, manusia berbeda dengan binatang.
Pavlov mengadakan percobaan
dengan cara mengadakan operasi leher pada seekor anjing. Sehingga keluar
kelenjar air liurnya dari luar. Apabila diperlihatkan sesuatu makanan,
maka akan keluar air liur anjing tersebut. Kemudian dalam percobaan
berikutya sebelum makanan diperlihatkan, diperlihatkanlah sinar merah
terlebih dahulu, kemudian baru makanan. Dengan sendirinya air liurpun
akan keluar pula. Apabila perbuatan demikian di lakukan berulang-ulang,
maka pada suatu ketika dengan hanya memperlihatkan sinar merah saja
tanpa makanan maka air liurpun akan keluar pula.
Makanan adalah rangsangan wajar,
sedangkan merah rangsangan buatan. Ternyata kalau perbuatan yang
demikian dilakukan berulang-ulang, rangsangan buatan ini akan
menimbulkan syarat (kondisi) untuk timbulnya air liur pada anjing
tersebut. Dari eksperimen tersebut, setelah pengkondisian atau
pembiasaan, dapat di ketahui bahwa daging yang menjadi stimulus alami
dapat di gantikan oleh sinar merah sebagai stimulus yang dikondisikan (conditioned stimulus)[3].
Ketika sinar merah di nyalakan ternyata air liur anjing keluar sebagai
respon-nya. Pavlov berpendapat bahwa kelenjar-kelenjar yang lainpun
dapat dilatih sebagaimana tersebut.
Apakah situasi ini bisa
diterapkan pada manusia? Ternyata dalam kehidupan sehari-hari ada
situasi yang sama pada anjing. Sebagai contoh, suara lagu dari penjual
es creem Walls yang berkeliking dari rumah kerumah. Awalnya mingkin
suara itu asing, tetapi setelah si penjual es creem sering lewat, maka
nada lagu tersebut bisa menerbitkan air liur. Dari contoh tersebut dapat
diketahui bahwa dengan menerapkan strategi pavlov ternyata individu
dapat dikendalikan melalui cara mengganti stimulus alami dengan stimulus
yang tepat untuk mendapatkan pengulangan respon yang diinginkan,
sementara individu tidak menyadari bahwa ia dikendalikan oleh stimulus
yang berasal dari luar dirinya.
Aplikasi teori behavioristik dalam pembelajaran.
Aplikasi teori behavioristik
dalam kegiatan pembelajaran yaitu - karena memandang pengetahuan adalah
objektif, pasti, tetap dan tidak berubah – pengetahuan disusun dengan
rapi sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar
adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowladge)
kepada orang yang belajar. Fungsi pikiran adalah untuk menjiplak
struktur pengetahuan yang sudah ada melalui proses berfikir yang dapat
dianalisis dan dipilih, sehingga makna yang dihasilkan dari proses
berfikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan
tersebut. Pembelajar diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama
terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh
pengajar itulah yang harus di pahami oleh pebelajar (siswa).
PENUTUP.
Demikianlah beberapa pandangan
tentang teori behavioristik, dari pemaparan di atas dapat di ambil
kesimpulan bahwa dalam teori behavioristik faktor lingkungan sangat
penting perananya dalam proses pembelajaran, disamping itu teori ini
juga mengutamakan mekanisme terbentuknya hasil belajar melalui prosedur
stimulus respon.
Sebagai konsekuensi dari teori
ini adalah para guru yang menggunakan paradigma behaviorisme akan
menyusun bahan pelajaran dalam bentuk yang sudah siap, sehingga tujuan
pembelajaran yang harus dikuasai siswa disampaikan secara utuh oleh
guru. Guru tidak banyak memberi ceramah tetapi instruksi singkat yang
diikuti contoh-contoh baik dilakukan sendiri maupun melalui simulasi.
Bahan pelajaran disusun secara hierarki dari yang sederhana sampai pada
yang komplex. Sekian……….!!
DAFTAR PUSTAKA
Hill, F., Winfred, Theories of learning (diterjemahkan oleh M.khozin dari karya aslinya, Learning:A survey of Psycological Interpretations, Harper Collins Publisher, 1990), Bandung:Nusa Dua, 2009.
Budiningsih, C., Asri , Belajar dan Pembelajaran, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005.
Hall S. Calvin & Lindzey, Gardner, Psikology kebribadian 3, Teori-Teori sifat dan behavioristik(diterjemahkan dari bukuTheories of personality, New york, Santa barbara Toronto, 1978) , yogyakarta: Kanisius 1993.
[1] Hill, F., Winfred, Theories of learning (diterjemahkan oleh M.khozin dari karya aslinya, Learning:A survey of Psycological Interpretations, Harper Collins Publisher, 1990), Bandung:Nusa Dua, 2009 Hal. 28.
[2] Budiningsih, C., Asri , Belajar dan Pembelajaran, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005 hal 20
[3] Hall S. Calvin & Lindzey, Gardner, Psikology kebribadian 3, Teori-Teori sifat dan behavioristik(diterjemahkan dari bukuTheories of personality, New york, Santa barbara Toronto, 1978) , yogyakarta: Kanisius 1993, hal
0 komentar:
Posting Komentar