Diberdayakan oleh Blogger.

Senin, 08 Oktober 2012

TEORI-TEORI BELAJAR

Ada kecenderungan dewasa ini untuk kembali pada pemikiran bahwa anak akan belajar dengan baik jika lingkungan diciptakan alamiah. Belajar akan lebih bermakna jika anak ‘mengalami’ apa yang dipelajarinya, bukan ‘mengetahuinya’. Pembelajaran yang berorientasi target penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetisi ‘mengingat’ jangka pendek, tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka panjang. Dan itulah yang terjadi dalam kelas-kelas saat ini, untuk itu perlu diketahui kembali akan adanya teori-teori belajar, khususnya yang relevan dalam bidang matematika.
Lebih khususnya dalam pembelajaran matematika, ada banyak tokoh dari dunia barat yang mengemukakan tentang bagaimana pembelajaran Matematika terhadap siswa, khususnya siswa SLTP. Tokoh-tokoh tersebut antara lain: Gagne yang mengemukakan teori Gagne, Bruner serta masih banyak tokoh lain yang mengemukakan teorinya.
A. TEORI GAGNE
Robert M. Gagne adalah seorang ahli psikologi yang banyak melakukan penelitian mengenai fase-fase belajar, tipe-tipe kegiatan belajar, dan hierarki belajar. Dalam penelitiaannya ia banyak menggunakan materi matematika sebagai medium untuk menguji penerapan teorinya. Di dalam teorinya Gagne juga mengemukakan suatu klasifikasi dari objek-objek yang dipelajari di dalam matematika.
1.Objek-objek pembelajaran Matematika
Menurut Gagne secara garis besar ada dua macam objek yang dipelajari siswa dalam matematika, yaitu objek-objek langsung dan objek-objek tak langsung. Objek-objek langsung dari pembelajaran Matematika terdiri atas:
a.Fakta-fakta matematika
Adalah konvensi-konvensi (semufakatan-semufakatan) dalam matematika yang dimaksudkan untuk memperlancar pembicaraan-pembicaraan di dalam matematika, seperti lambang-lambang yang ada dalam matematika, semufakatan bahwa pada garis bilangan yang horisontal, arah ke kanan menunjukan bilangan-bilangan yang semakin besar sedangkan kearah kiri menunjukkan bilangan-bilangan yang semakib kecil nilainya, dan sebagainya.
Di dalam matematika, fakta merupakan sesuatu yang harus diterima begitu saja karena itu sekedar merupakan semufakatan. Misalnya adalah merupakan fakta (yang haruis diterima begitu saja) bahwa lambang untuyk bilangan Empat adalah 4 (dalam sistem bilangan hindu-arab) atau ‘IV’ ( dalam sistem bilangan romawi). Juga lambang ‘-‘ adalah lambang untuk operasi pengurangan. Di dalam matematika tidak dipersoalkan hal-hal seperti itu, dan menurut Gagne fakta hanya bisa dipelajari dengan dipakai berulang-ulang dan di hafal.
b. keterampilan-keterampilan matematika
adalah operasi-operasi dan prosedur-prosedur dalam matematika yang masing-masing merupakan suatu proses untuk mencari sesuatu hasil tertentu. Contoh keterampilan matematika adalah proses mencari jumlah dua bilangan, proses mencari kelipatan persekutuan terkecil dari dua bilangan dan lain-lain.
c. Konsep-konsep matematiaka
Suatu konsep yang yang berada dalam lingkup matematika disebut konsep matematika, yaitu antara lain: segitiga, persegi panjang, persemaan, pertidaksamaan, bilangan prima, dan lain-lain.
d. Prinsip-prinsip matematika
Beberapoa contoh prinsip dalam matematika antara lain:
1). Pada setiap segitiga sama kaki, kedua sudut alas adalah sama besar.
2). Hasil kali dua bilangan p dan q adalah nol jika dan hanya jika p=0 atau q=0.
3). Pada setiap seggitiga siku-siku, kuadrat panjang sisi miring sama dengan jumlah kuadrat kedua sisi siku-siku.
2. Fase-fase kegiatan belajar
Menurut Gagne setiap kegiatan belajar terdiri atas empat fase yang terjadi secara berurutan, yaitu
a. Fase Aprehensi. Pada fase ini siswa menyadari adanya stimulus yang terkait dengan kegiatan belajar tang akan ia lakukan. Dalam pelajaran matematika, stimulus tersebut bisa berupa materi pelajaran yang tercetak pada halaman sebuah buku, sebuah sola yang diberikan oleh guru sebagai pekerjaan rumah, atau juga bisa seperangkat alat peraga yang berguna untuk pemahaman konsep-konsep tertentu.
b. Fase Akuisisi. Pada fase ini siswa melakukan akuisisi atau penyerapan terhadap berbagai fakta, keterampilan, konsep, atau prinsip ytang menjadi sasaran dari kegiatan belajar tersebut.
c. Fase Penyimpanan. Pada fase iniu siswa menyimpan hasil-hasil kegiatan belajar dalam ingatan jangka pendek dan ingatan jangka panjang.
d. Fase Pemanggilan. Pada fase ini siswa berusaha memanggil kembali hasil-hasil dari kegiatan belajar yang telah ia peroleh dan ia simpan dalam ingatan, baik itu yang menyangkut fakta, keterampilan, konsep, maupun prinsip.
3. Jenis-jenis belajar
jenis-jenis belajar terdiri atas:
a.Belajar isyarat, adalah kegiatan belajar yang terjadi secara tidak disadari, sebagai akibat adanya suatu stimulus tertentu. Sebagai contoh, jika seorang siswa mendapatkan komentar bernada positif dari guru matematika, maka secara tidak langsung siswa itu akan cenderung menyukai pelajaran matematika. Dan sebaliknya.
b.Belajar stimulus respon, adalah kegiatan belajar yang terjadi secara disadari, yang berupa dolakukannya suatu kegiatan fisik sebagai suatu reaksi atas adanya suatu stimulus tertentu.
c.Rangkaian gerakan, merupakan kegiatan yang terdiri atas dua gerakan fisik atau lebih yang dirangkai menjadi satu secara berurutan, dalam upaya untuk mencapai sesuatu tujuan tertentu.
d.Rangkaian verbal, merupakan kegiatan merangkai kata-kata atau kalimat-kalimat secara bermakna. Misalnya kegiatan mendeskripsikan sifat-sifat suatu bangun geometri, kegiatan menyebutkan nama benda-benda tertentu, dan sebagainya.
e.Belajar membedakan, merupakan kegiatan mengamati perbedaan antara sesuatu objek yang satu dengan sesuatu objek yang lain, misalnya membedakan lambang ‘3’ dengan lambang ‘8’, membedakan bilangan bulat dengan bilangan prima, dan sebagainya.
f.Belajar konsep, merupakan kegiatan mengenali sifat yang sama yang terdapat pada berbagai objek atau peristiwa, dan kemudian memperlakukan objek-objek atau peristiwa itu sebagai suatu kelas, disebabkan oleh adanya sifat yang sama tersebut.
g.Belajar aturan. Contoh aturan dalam matematika antara lain: Untuk sembarang dua bilangan real a dan b berlaku a x b = b x a, dan masih banyak aturan lain dalam matematika.
h.Pemecahan masalah, merupakan kegiatan belajar yang palng kompleks. Untuk dapat memecahkan suatu masalah, seseorang memerlukan pengetahuan-pengetahuan dan kemampuan-kemampuan yang ada kaitannya dengan masalah tersebut. Pengetahuan dan kemampuan tersebut harus diramu dan diolah secara kreatif dalam ranghka memecahkan masalah yang bersangkutan

B. TEORI BRUNER
Berdasarkan hasil eksperimen dan observasi yang dilakukan oleh bruner dan kenney, pada tahun 1963 kedua pakar tersebut mengemukakan empat prinsip tentang cara belajar dan mengajar matematika yang masing-masing mereka sebut sebagai teorema. Keempat teorema tersebut yaitu:
1. Teorema Konstruksi
Didalam teorema ini dikataklan bahwa cara yang terbaik bagi seotang siswa untuk mempelajari suatu konsep atau suatu prinsip dalam matematika adalah dengan mengkonstruksi sebuah representasi dari konsep atau prinsip tersebut. Siswa-siswa yang lebih dewasa mungkin bisa memahami suatu konsep atau suatu prinsip dalam matrematika hanya dengan menganalisisa sebuah representasi yang disajikan oleh guru mereka; akan tetapi untuk kebanyakan siswa khususnya untuk siswa yang lebih muda, proses belajar akan lebih baik jika para siswa mengkonstruksi sendiri representasi dari apa yang dipelajari tersebut, sehingga mereka akan lebih mudah menemukan sendiri konsep atau prinsip yang terkandung dalam representasi tersebut, sehingga untuk selanjutnya mereka juga mudah untuk untuk mengingat hal-hal tersebut dan dapat mengaplikasikannya dalam situasi-situasi yang yang sesuai.

2. Teorema Notasi
Menurut apa yang dikatakan dalam teorema notasi representasi dari suatu materi matematika akan lebih mudah dipahami oleh siswa apabila didalam representasi itu digunakan notasi yang sesuai dengan tingkat perkembangan kognitif siswa. Sebagai contoh, untuk siswa sekolah dasar, soal yang berbunyi: ‘ tentukanlah sebuah bilangan yang jika ditambah tiga akan menjadi delapan’, akan lebih sesuai jika dipresentasikan dalam bentuk: ……+ 3 = 8, Sedangkan untuk siswa SLTP yang tingkat perkembangannya sudah lebih matang, soal tersebut akan lebih sesuai jika dipresentasikan dalam bentuk: x + 3 = 8.
3. Teorema Kokantrasan dan variasi
Didalam teorema ini dikemukakan bahwa suatu konsep matematika akan lebih mudah dipahami oleh siswa pabila konsep itu dikontraskan dengan konsep-konsep yang lain sehingga perbedaan antara konsep itu dengan konsep-konsep yang lain menjadi jelas; serta pemahaman siswa tentang suatu konsep matematika juga akan lebih jelas apabila konsep itu dijelaskan dengan menggunakan berbagai contoh yang bervariasi (contoh-contoh yang berbeda tetapi semuanya menunjukan konsep yang sama). Sebagai contoh adalah dalam pembelajaran konsep pertsegi panjangnm persegi poanjang sebaiknya ditampilkan dengan berbagai contoh yang bervariasi, misalnya ada persegi panjang yang posisinya bervariasi (ada yang dua sisinya yang berhadapan terletak horisontal dan dua sisi yang lain verttikal, ada yang posisinya miring, dan sebagainya), ada persegi panjang yang perbedaan poanjang dan lebarnya begitu mencolok, dan lain sebagainya.
4. Teorema Konektivitas
Di dalam teorema konektivitas disebutkan bahwa setiap konsep, setiap prinsip, dan setiap keterampilan dalam matematika berhubungan dengan konsep-konsep, prinsip-prinsip, dan keterampilan-keterampilan yang lain.
Adanya hubungan antara konsep. Prinsip, dan keterampilan itu menyebabkan struktur dari setiap cabang matematika menjadi jelas. Adanya hubungan-hubungan itu juga membantu guru dan pihak lain dalam upaya untuk menyusun program pembelajaran bagi siswa.
Dalam pembelajaran matematika, tugas guru bukan hanya membantu siswa dalam memahamio konsep dsan prinsip serta memiliki keterampilan tertentu, tetapi juga membantu siswa dalam memahami hubungan antara konsep, prinsip, dan keterampilan tersebut. Dengan memahami hubungan antara bagian yang satu dengan bagian yang lain dari matematika, pemahaman siswa terhadap struktur dan isi dari matematika menjadi lebih utuh.

C. TEORI AUSUBEL
Sekalipun selama ini metode ceramah dan metode-metode ekspositoris yang lain banyak digugat karena dianggap kurang mendorong proses berpikir dan proses belajar aktif pada siswa, tidak berarti bahwa metode-metode tersebut ditinggalkan begitu saja. David B. Ausubel adalah salah satu pakar dalam pendidikan dan psikologi yang berpendapat bahwa metode ceramah (lecture method) merupakan metode pembelajaran yang sangat efektif, apabila dipakai secara tepat. Menurut Ausubel , metode-metode kspositoris (termasuk metode ceramah) akan sangat efektif dalam menghasilkan kegiatan belajar yang bermakna (meaningful learning) apabila dipenuhi dua syarat sebagai berikut:
1. Siswa memiliki meaningful leaening set, yaitu sikap mental yang mendukung terjadinya kegiatan belajar yang bermakna. Contoh: siswa betul-betul mempunyai keinginan yang kuat untuk memahami hal-hal yang akan dipelajri, dan berusaha untuk mengaitkan hal-hal baru yang dipelajri dengan hal-hal lama yang telah ia ketahui, yang kiranya relevan.
2. Materi yang akan dipelajari atau tugas yang akan dikerjakan siswa adalah materi atau tugas yang bermakna bagi siswa; artinya, materi atau tugas tersebut terkait dengan struktur kognitif yang pada saat itu telah dimiliki siswa, sehingga dengan demikian siswa bisa mengasimilisasikan pengetahuan-pengetahuan baru yang dipelajri itu kedalam struktur kognitif yang ia miliki. Dan dengan demikian, struktur kognitif siswa mengalami perkembangan.
D. PENDEKATAN KONTEKSTUAL (CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING / CTL)
Pendekatan kontekstual (CTL) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilkinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka. Dengan konsep ini, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, dan strategi prmbrlajaran lebih dipentingkan daripada hasil.
Dalam kelas kontekstual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Maksudnya guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi infomasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi siswa. Sesuatu yang baru (pengetahuan dan keterampilan) datang dari ‘menemukan sendiri’ bukan dari ‘apa kata guru’.
Ada lima elemen yang harus diperhatikan dalam praktek pembelajaran kontekstual:
1. Pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activating knowledge)
2. Pemerolehan pengatahuan baru (acquiring knowledge) dengan cara mempelajari secara keseluruhan dulu, kemudian memperhatikan detailnya.
3. Pemahaman pengetahuan (undersatnding knowledge)
4. Mempraktekan pengetahuan dan pengalaman tersebut (Applying knowledge)
5. Melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi pengembangan pengetahuan tersebut.
Pendekatan CTL memiliki tujuh komponen utama yaitu: konstruktivisme (contructivism), menemukan (inquiry), bertanya (questioning), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), refleksi (reflection), dan penilaian yang sebenarnya ( authentic assessment).
E. KONSTRUKTIVISME
Konstruktivisme merupakan suatu teori atau paham yang menyatakan bahwa setiap pengetahuan atau kemampuan hanya bisa dikuasai oleh seseorang apabila orang itu aktif mengkonstruksi atau membentuk pengetahuan atau kemampuan itu di dalam pikirannya. Jika pengetahuan atau kemampuan itu tidak secara aktif dikonstruksi sendiri oleh orang yang bersangkutan, pengetahuan atau kemampuan itu tidak akan bisa dikuasai secara sungguh-sungguh. Dalam hal seperti itu, proses belajar yang sungguh-sungguh tidak terjadi, dan hasilnya adalah belajar tanpa pemahaman.
Menurut paham konstruktivisme, tugas guru atau pendidik adalah menfasilitasi agar prosea pembentukan (konstruksi) pengetahuan pada diri tiap-tiap siswa terjadi secara optimal. Sebagai contoh, jika seorang siswa membuat suatu kesalahan dalam mengerjakan sebuah soal, sebaiknya guru tidak langsung memberitahukan dimana letak kesalahannya. Sebaiknya guru mengajukan beberapa pertanyaan untuk menuntun siswa supaya pada akhirnya siswa menemukan sendiri letak kesalahannya tersebut. Sebagai contoh, jika seorang siswa menyatakan bahwa untuk sembarang bilangan real a dan b berlaku (a+b) pangkat dua sama dengan a pangkat dua di tambah b pangkat dua, guru tidak perlu langsung memberitahukan bahwa itu salah, lebih baik guru memberi pertanyaan yang sifatnya menuntun, misalnya: apakah (2+3) pangkat dua sama dengan dua pangkat dua ditambah tiga pangkat dua ?.
Dengan menjawab pertanyaan ini, siswa akan dapat menemukan sendiri letak kesalahan yang ia buat pada pernyataan semula. Dari contoh ini kiranya jelas bahwa guru bisa membantu siswa dengan cara siswa dengan cara memilih pendekatan pembelajaran yang sesuai, agar proses konstruksi pengetahuan dalam pikiran siswa berlangsung secara optimal. Pertanyaan yang diajukan guru tersebut, untuk menuntun siswa supaya pada akhirnya siswa bisa menemukan sendiri letak kesalahan yang ia buat, merupakan contoh scaffolding (tuntunan atau dukungan yang dinamis) dari guru pada siswa.


PENUTUP

Dari beberapa teori yang dikemukakan diatas, dapat diketahuai bahwa pada dasarnya kesemuanya memberikan tujuan agar siswa lebih merasa nyaman dan bebas dalam belajar matematika yang memang terkesan angker. Guru harus bisa berperan sebagai fasilitator (pencipta situasi belajar yang nyaman) yang memberikan bimbingan pada siswa, sehingga siswa merasa menjadi subjek pembelajaran bukan sebagai objek.

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

adf