Ada kecenderungan dewasa ini untuk kembali pada pemikiran bahwa anak
akan belajar dengan baik jika lingkungan diciptakan alamiah. Belajar
akan lebih bermakna jika anak ‘mengalami’ apa yang dipelajarinya, bukan
‘mengetahuinya’. Pembelajaran yang berorientasi target penguasaan materi
terbukti berhasil dalam kompetisi ‘mengingat’ jangka pendek, tetapi
gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka
panjang. Dan itulah yang terjadi dalam kelas-kelas saat ini, untuk itu
perlu diketahui kembali akan adanya teori-teori belajar, khususnya yang
relevan dalam bidang matematika.
Lebih khususnya dalam pembelajaran
matematika, ada banyak tokoh dari dunia barat yang mengemukakan tentang
bagaimana pembelajaran Matematika terhadap siswa, khususnya siswa SLTP.
Tokoh-tokoh tersebut antara lain: Gagne yang mengemukakan teori Gagne,
Bruner serta masih banyak tokoh lain yang mengemukakan teorinya.
A. TEORI GAGNE
Robert
M. Gagne adalah seorang ahli psikologi yang banyak melakukan penelitian
mengenai fase-fase belajar, tipe-tipe kegiatan belajar, dan hierarki
belajar. Dalam penelitiaannya ia banyak menggunakan materi matematika
sebagai medium untuk menguji penerapan teorinya. Di dalam teorinya Gagne
juga mengemukakan suatu klasifikasi dari objek-objek yang dipelajari di
dalam matematika.
1.Objek-objek pembelajaran Matematika
Menurut
Gagne secara garis besar ada dua macam objek yang dipelajari siswa dalam
matematika, yaitu objek-objek langsung dan objek-objek tak langsung.
Objek-objek langsung dari pembelajaran Matematika terdiri atas:
a.Fakta-fakta matematika
Adalah
konvensi-konvensi (semufakatan-semufakatan) dalam matematika yang
dimaksudkan untuk memperlancar pembicaraan-pembicaraan di dalam
matematika, seperti lambang-lambang yang ada dalam matematika,
semufakatan bahwa pada garis bilangan yang horisontal, arah ke kanan
menunjukan bilangan-bilangan yang semakin besar sedangkan kearah kiri
menunjukkan bilangan-bilangan yang semakib kecil nilainya, dan
sebagainya.
Di dalam matematika, fakta merupakan sesuatu yang harus
diterima begitu saja karena itu sekedar merupakan semufakatan. Misalnya
adalah merupakan fakta (yang haruis diterima begitu saja) bahwa lambang
untuyk bilangan Empat adalah 4 (dalam sistem bilangan hindu-arab) atau
‘IV’ ( dalam sistem bilangan romawi). Juga lambang ‘-‘ adalah lambang
untuk operasi pengurangan. Di dalam matematika tidak dipersoalkan
hal-hal seperti itu, dan menurut Gagne fakta hanya bisa dipelajari
dengan dipakai berulang-ulang dan di hafal.
b. keterampilan-keterampilan matematika
adalah operasi-operasi dan prosedur-prosedur dalam matematika yang
masing-masing merupakan suatu proses untuk mencari sesuatu hasil
tertentu. Contoh keterampilan matematika adalah proses mencari jumlah
dua bilangan, proses mencari kelipatan persekutuan terkecil dari dua
bilangan dan lain-lain.
c. Konsep-konsep matematiaka
Suatu konsep
yang yang berada dalam lingkup matematika disebut konsep matematika,
yaitu antara lain: segitiga, persegi panjang, persemaan, pertidaksamaan,
bilangan prima, dan lain-lain.
d. Prinsip-prinsip matematika
Beberapoa contoh prinsip dalam matematika antara lain:
1). Pada setiap segitiga sama kaki, kedua sudut alas adalah sama besar.
2). Hasil kali dua bilangan p dan q adalah nol jika dan hanya jika p=0 atau q=0.
3). Pada setiap seggitiga siku-siku, kuadrat panjang sisi miring sama dengan jumlah kuadrat kedua sisi siku-siku.
2. Fase-fase kegiatan belajar
Menurut Gagne setiap kegiatan belajar terdiri atas empat fase yang terjadi secara berurutan, yaitu
a.
Fase Aprehensi. Pada fase ini siswa menyadari adanya stimulus yang
terkait dengan kegiatan belajar tang akan ia lakukan. Dalam pelajaran
matematika, stimulus tersebut bisa berupa materi pelajaran yang tercetak
pada halaman sebuah buku, sebuah sola yang diberikan oleh guru sebagai
pekerjaan rumah, atau juga bisa seperangkat alat peraga yang berguna
untuk pemahaman konsep-konsep tertentu.
b. Fase Akuisisi. Pada fase
ini siswa melakukan akuisisi atau penyerapan terhadap berbagai fakta,
keterampilan, konsep, atau prinsip ytang menjadi sasaran dari kegiatan
belajar tersebut.
c. Fase Penyimpanan. Pada fase iniu siswa menyimpan
hasil-hasil kegiatan belajar dalam ingatan jangka pendek dan ingatan
jangka panjang.
d. Fase Pemanggilan. Pada fase ini siswa berusaha
memanggil kembali hasil-hasil dari kegiatan belajar yang telah ia
peroleh dan ia simpan dalam ingatan, baik itu yang menyangkut fakta,
keterampilan, konsep, maupun prinsip.
3. Jenis-jenis belajar
jenis-jenis belajar terdiri atas:
a.Belajar
isyarat, adalah kegiatan belajar yang terjadi secara tidak disadari,
sebagai akibat adanya suatu stimulus tertentu. Sebagai contoh, jika
seorang siswa mendapatkan komentar bernada positif dari guru matematika,
maka secara tidak langsung siswa itu akan cenderung menyukai pelajaran
matematika. Dan sebaliknya.
b.Belajar stimulus respon, adalah
kegiatan belajar yang terjadi secara disadari, yang berupa dolakukannya
suatu kegiatan fisik sebagai suatu reaksi atas adanya suatu stimulus
tertentu.
c.Rangkaian gerakan, merupakan kegiatan yang terdiri atas
dua gerakan fisik atau lebih yang dirangkai menjadi satu secara
berurutan, dalam upaya untuk mencapai sesuatu tujuan tertentu.
d.Rangkaian
verbal, merupakan kegiatan merangkai kata-kata atau kalimat-kalimat
secara bermakna. Misalnya kegiatan mendeskripsikan sifat-sifat suatu
bangun geometri, kegiatan menyebutkan nama benda-benda tertentu, dan
sebagainya.
e.Belajar membedakan, merupakan kegiatan mengamati
perbedaan antara sesuatu objek yang satu dengan sesuatu objek yang lain,
misalnya membedakan lambang ‘3’ dengan lambang ‘8’, membedakan bilangan
bulat dengan bilangan prima, dan sebagainya.
f.Belajar konsep,
merupakan kegiatan mengenali sifat yang sama yang terdapat pada berbagai
objek atau peristiwa, dan kemudian memperlakukan objek-objek atau
peristiwa itu sebagai suatu kelas, disebabkan oleh adanya sifat yang
sama tersebut.
g.Belajar aturan. Contoh aturan dalam matematika
antara lain: Untuk sembarang dua bilangan real a dan b berlaku a x b = b
x a, dan masih banyak aturan lain dalam matematika.
h.Pemecahan
masalah, merupakan kegiatan belajar yang palng kompleks. Untuk dapat
memecahkan suatu masalah, seseorang memerlukan pengetahuan-pengetahuan
dan kemampuan-kemampuan yang ada kaitannya dengan masalah tersebut.
Pengetahuan dan kemampuan tersebut harus diramu dan diolah secara
kreatif dalam ranghka memecahkan masalah yang bersangkutan
B. TEORI BRUNER
Berdasarkan
hasil eksperimen dan observasi yang dilakukan oleh bruner dan kenney,
pada tahun 1963 kedua pakar tersebut mengemukakan empat prinsip tentang
cara belajar dan mengajar matematika yang masing-masing mereka sebut
sebagai teorema. Keempat teorema tersebut yaitu:
1. Teorema Konstruksi
Didalam
teorema ini dikataklan bahwa cara yang terbaik bagi seotang siswa untuk
mempelajari suatu konsep atau suatu prinsip dalam matematika adalah
dengan mengkonstruksi sebuah representasi dari konsep atau prinsip
tersebut. Siswa-siswa yang lebih dewasa mungkin bisa memahami suatu
konsep atau suatu prinsip dalam matrematika hanya dengan menganalisisa
sebuah representasi yang disajikan oleh guru mereka; akan tetapi untuk
kebanyakan siswa khususnya untuk siswa yang lebih muda, proses belajar
akan lebih baik jika para siswa mengkonstruksi sendiri representasi dari
apa yang dipelajari tersebut, sehingga mereka akan lebih mudah
menemukan sendiri konsep atau prinsip yang terkandung dalam representasi
tersebut, sehingga untuk selanjutnya mereka juga mudah untuk untuk
mengingat hal-hal tersebut dan dapat mengaplikasikannya dalam
situasi-situasi yang yang sesuai.
2. Teorema Notasi
Menurut
apa yang dikatakan dalam teorema notasi representasi dari suatu materi
matematika akan lebih mudah dipahami oleh siswa apabila didalam
representasi itu digunakan notasi yang sesuai dengan tingkat
perkembangan kognitif siswa. Sebagai contoh, untuk siswa sekolah dasar,
soal yang berbunyi: ‘ tentukanlah sebuah bilangan yang jika ditambah
tiga akan menjadi delapan’, akan lebih sesuai jika dipresentasikan dalam
bentuk: ……+ 3 = 8, Sedangkan untuk siswa SLTP yang tingkat
perkembangannya sudah lebih matang, soal tersebut akan lebih sesuai jika
dipresentasikan dalam bentuk: x + 3 = 8.
3. Teorema Kokantrasan dan variasi
Didalam
teorema ini dikemukakan bahwa suatu konsep matematika akan lebih mudah
dipahami oleh siswa pabila konsep itu dikontraskan dengan
konsep-konsep yang lain sehingga perbedaan antara konsep itu dengan
konsep-konsep yang lain menjadi jelas; serta pemahaman siswa tentang
suatu konsep matematika juga akan lebih jelas apabila konsep itu
dijelaskan dengan menggunakan berbagai contoh yang bervariasi
(contoh-contoh yang berbeda tetapi semuanya menunjukan konsep yang
sama). Sebagai contoh adalah dalam pembelajaran konsep pertsegi
panjangnm persegi poanjang sebaiknya ditampilkan dengan berbagai contoh
yang bervariasi, misalnya ada persegi panjang yang posisinya bervariasi
(ada yang dua sisinya yang berhadapan terletak horisontal dan dua sisi
yang lain verttikal, ada yang posisinya miring, dan sebagainya), ada
persegi panjang yang perbedaan poanjang dan lebarnya begitu mencolok,
dan lain sebagainya.
4. Teorema Konektivitas
Di dalam teorema
konektivitas disebutkan bahwa setiap konsep, setiap prinsip, dan setiap
keterampilan dalam matematika berhubungan dengan konsep-konsep,
prinsip-prinsip, dan keterampilan-keterampilan yang lain.
Adanya
hubungan antara konsep. Prinsip, dan keterampilan itu menyebabkan
struktur dari setiap cabang matematika menjadi jelas. Adanya
hubungan-hubungan itu juga membantu guru dan pihak lain dalam upaya
untuk menyusun program pembelajaran bagi siswa.
Dalam pembelajaran
matematika, tugas guru bukan hanya membantu siswa dalam memahamio konsep
dsan prinsip serta memiliki keterampilan tertentu, tetapi juga membantu
siswa dalam memahami hubungan antara konsep, prinsip, dan keterampilan
tersebut. Dengan memahami hubungan antara bagian yang satu dengan bagian
yang lain dari matematika, pemahaman siswa terhadap struktur dan isi
dari matematika menjadi lebih utuh.
C. TEORI AUSUBEL
Sekalipun
selama ini metode ceramah dan metode-metode ekspositoris yang lain
banyak digugat karena dianggap kurang mendorong proses berpikir dan
proses belajar aktif pada siswa, tidak berarti bahwa metode-metode
tersebut ditinggalkan begitu saja. David B. Ausubel adalah salah satu
pakar dalam pendidikan dan psikologi yang berpendapat bahwa metode
ceramah (lecture method) merupakan metode pembelajaran yang sangat
efektif, apabila dipakai secara tepat. Menurut Ausubel , metode-metode
kspositoris (termasuk metode ceramah) akan sangat efektif dalam
menghasilkan kegiatan belajar yang bermakna (meaningful learning)
apabila dipenuhi dua syarat sebagai berikut:
1. Siswa memiliki
meaningful leaening set, yaitu sikap mental yang mendukung terjadinya
kegiatan belajar yang bermakna. Contoh: siswa betul-betul mempunyai
keinginan yang kuat untuk memahami hal-hal yang akan dipelajri, dan
berusaha untuk mengaitkan hal-hal baru yang dipelajri dengan hal-hal
lama yang telah ia ketahui, yang kiranya relevan.
2. Materi yang akan
dipelajari atau tugas yang akan dikerjakan siswa adalah materi atau
tugas yang bermakna bagi siswa; artinya, materi atau tugas tersebut
terkait dengan struktur kognitif yang pada saat itu telah dimiliki
siswa, sehingga dengan demikian siswa bisa mengasimilisasikan
pengetahuan-pengetahuan baru yang dipelajri itu kedalam struktur
kognitif yang ia miliki. Dan dengan demikian, struktur kognitif siswa
mengalami perkembangan.
D. PENDEKATAN KONTEKSTUAL (CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING / CTL)
Pendekatan
kontekstual (CTL) merupakan konsep belajar yang membantu guru
mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata
siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang
dimilkinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka. Dengan konsep
ini, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses
pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan
mengalami, dan strategi prmbrlajaran lebih dipentingkan daripada hasil.
Dalam
kelas kontekstual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya.
Maksudnya guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi
infomasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja
bersama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi siswa. Sesuatu yang baru
(pengetahuan dan keterampilan) datang dari ‘menemukan sendiri’ bukan
dari ‘apa kata guru’.
Ada lima elemen yang harus diperhatikan dalam praktek pembelajaran kontekstual:
1. Pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activating knowledge)
2.
Pemerolehan pengatahuan baru (acquiring knowledge) dengan cara
mempelajari secara keseluruhan dulu, kemudian memperhatikan detailnya.
3. Pemahaman pengetahuan (undersatnding knowledge)
4. Mempraktekan pengetahuan dan pengalaman tersebut (Applying knowledge)
5. Melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi pengembangan pengetahuan tersebut.
Pendekatan CTL memiliki tujuh komponen utama yaitu: konstruktivisme
(contructivism), menemukan (inquiry), bertanya (questioning), masyarakat
belajar (learning community), pemodelan (modeling), refleksi
(reflection), dan penilaian yang sebenarnya ( authentic assessment).
E. KONSTRUKTIVISME
Konstruktivisme
merupakan suatu teori atau paham yang menyatakan bahwa setiap
pengetahuan atau kemampuan hanya bisa dikuasai oleh seseorang apabila
orang itu aktif mengkonstruksi atau membentuk pengetahuan atau kemampuan
itu di dalam pikirannya. Jika pengetahuan atau kemampuan itu tidak
secara aktif dikonstruksi sendiri oleh orang yang bersangkutan,
pengetahuan atau kemampuan itu tidak akan bisa dikuasai secara
sungguh-sungguh. Dalam hal seperti itu, proses belajar yang
sungguh-sungguh tidak terjadi, dan hasilnya adalah belajar tanpa
pemahaman.
Menurut paham konstruktivisme, tugas guru atau pendidik
adalah menfasilitasi agar prosea pembentukan (konstruksi) pengetahuan
pada diri tiap-tiap siswa terjadi secara optimal. Sebagai contoh, jika
seorang siswa membuat suatu kesalahan dalam mengerjakan sebuah soal,
sebaiknya guru tidak langsung memberitahukan dimana letak kesalahannya.
Sebaiknya guru mengajukan beberapa pertanyaan untuk menuntun siswa
supaya pada akhirnya siswa menemukan sendiri letak kesalahannya
tersebut. Sebagai contoh, jika seorang siswa menyatakan bahwa untuk
sembarang bilangan real a dan b berlaku (a+b) pangkat dua sama dengan a
pangkat dua di tambah b pangkat dua, guru tidak perlu langsung
memberitahukan bahwa itu salah, lebih baik guru memberi pertanyaan yang
sifatnya menuntun, misalnya: apakah (2+3) pangkat dua sama dengan dua
pangkat dua ditambah tiga pangkat dua ?.
Dengan menjawab pertanyaan
ini, siswa akan dapat menemukan sendiri letak kesalahan yang ia buat
pada pernyataan semula. Dari contoh ini kiranya jelas bahwa guru bisa
membantu siswa dengan cara siswa dengan cara memilih pendekatan
pembelajaran yang sesuai, agar proses konstruksi pengetahuan dalam
pikiran siswa berlangsung secara optimal. Pertanyaan yang diajukan guru
tersebut, untuk menuntun siswa supaya pada akhirnya siswa bisa menemukan
sendiri letak kesalahan yang ia buat, merupakan contoh scaffolding
(tuntunan atau dukungan yang dinamis) dari guru pada siswa.
PENUTUP
Dari
beberapa teori yang dikemukakan diatas, dapat diketahuai bahwa pada
dasarnya kesemuanya memberikan tujuan agar siswa lebih merasa nyaman dan
bebas dalam belajar matematika yang memang terkesan angker. Guru harus
bisa berperan sebagai fasilitator (pencipta situasi belajar yang
nyaman) yang memberikan bimbingan pada siswa, sehingga siswa merasa
menjadi subjek pembelajaran bukan sebagai objek.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar